Archive for the ‘Motivasi’ Category

Tenaga pemasar hebat. Bisa raup 30% total pemasukan. Tapi trouble maker.

November 8, 2016

Dalam pelatihan karakter, seorang instruktur bertanya: “Ada tenaga pemasar hebat. Bisa raup 30% total pemasukan. Masalahnya perilakunya buat disharmoni. Aset sekaligus trouble maker. Perusahaan tersandera. Sebagai atasan, apa yang musti dilakukan?”

“Jinakkan agar bisa jadi team work”, jawab satu peserta. Benar, saya teriak dalam hati. Namun instruktur bilang: “Sudah. Tak mempan”. Ini instruktur keren bingit. Tak mau bahas alternatif lain. Peserta diminta hanya bahas buah simalakama.

Pecat, 30 persen pemasukan hilang. Tak dipecat, soliditas terancam. Kedua pilihan, sama-sama sandera perusahaan. Peserta pun hening. Saya tak angkat tangan. Lebih nikmat menonton daripada ditonton. Jujur. Sesungguhnya saya tak tahu harus berbuat apa. Hihihik….

Peserta di depan saya angkat tangan. “Kami punya kiat tingkatkan kompetensi karyawan. Yang kami tak punya, bagaimana perilaku jadi baik. Kami masih cari-cari tools-nya”.

Sambil acungkan jempol instruktur bertanya: “So what. Artinya anda pilih singkirkan?”

“Yes, sir. Meski tak berlimpah uang, saya pilih soliditas. Uang banyak tapi tim kisruh untuk apa. Uang bisa beli maestro pemasaran. Tapi tak bisa beli soliditas. Uang bisa buat perusahaan besar. Tapi merawatnya, kita butuh tim yang sehat”.

Semua peserta terdiam. Tentu saja termasuk saya. Dengan maqom cekak, saya coba pahami jawaban itu. Saya bandingkan Indonesia dengan Singapura. Indonesia kaya raya, besar dan menggiurkan. Singapura bahkan lebih kecil dibanding Jakarta. Cuma lebih sehat mana?
Nah, Beberapa tahun yang lalu, saya saksikan wawancara serius tapi menggelikan. Pelatih tim nasional sepak bola, Alfred Riedl, ditanya presenter Alvito: “Tuan Riedl, jika Anda punya penyerang hebat tapi tak disiplin, apa yang Anda lakukan?”

“Saya pecat dia!” Jawab Riedl tanpa tedeng aling-aling.

“Sedari awal sikapnya sudah merusak tim”, katanya lagi menjawab pertanyaan kenapa.

Seperti pelatih di mana pun, bagi Riedl semua pemain sama. Meski dia pencetak gol tersubur, tetap tak ada pilih kasih. Tak disipilin, atau jadi biang kerok, pasti dikandangkan. Jangan sampai “nila setitik rusak susu se-Indonesia”.

Wajah Alvito terkesiap. Riedl punya prinsip, tak tergoyahkan. Lantas Alvito bertanya lagi: “Tuan Riedl. Anda kok tak pernah tersenyum?”

“Saya disewa PSSI untuk melatih. Bukan untuk tersenyum,” jawab Riedl.
Ingatan menclok ke Riwok Ndadari. Dia pernah didatangi orang hebat. CV-nya tertera: Mahasiswa teladan. Juara PON di salah satu cabang olahraga. Punya EO. Dan jadi staf ahli seorang menteri.

Karena pede dia protes. Mengapa dalam wawancara, pertanyaan buatnya tak berkelas. Dia cuma diminta jelaskan hal teknis, cara hadapi pelanggan. Riwok garuk-garuk kepala juga. Ada pelamar yang protes soal materi wawancara.

Dalam sidang penerimaan hal itu diutarakan. Terjadi gempa bumi, alamat tim tak terima. Kepemimpinan Riwok diuji. Andai ditolak, sebenarnya lembaga butuh SDM jempolan. Jika diterima, lembaga jadi taruhan. Maka demi berlanjutnya lembaga, dengan masygul Riwok menolak. Sebagian mimpi Riwok terbang seiring tertolaknya si pelamar hebat.

Mengapa bangsa Asia kalah kreatif dari bangsa Barat?

July 21, 2016

Prof. Ng Aik Kwang dari University of Queensland, dalam bukunya “Why Asians Are Less Creative Than Westerners” (2001) yang dianggap kontroversial tapi ternyata menjadi best seller (klik situs ini) mengemukakan beberapa hal tentang bangsa-bangsa Asia yang telah membuka mata dan pikiran banyak orang:

1. Bagi kebanyakan orang Asia, dalam budaya mereka, ukuran sukses dalam hidup adalah banyaknya materi yang dimiliki (rumah, mobil, uang dan harta lain). Passion (rasa cinta trthadap sesuatu) kurang dihargai. Akibatnya, bidang kreatifitas kalah populer oleh profesi dokter, lawyer, dan sejenisnya yang dianggap bisa lebih cepat menjadikan seorang utk memiliki kekayaan banyak.

2. Bagi orang Asia, banyaknya kekayaan yg dimiliki lebih dihargai daripada CARA memperoleh kekayaan tersebut. Tidak heran bila lebih banyak orang menyukai ceritera, novel, sinetron atau film yang bertema orang miskin jadi kaya mendadak karena beruntung menemukan harta karun, atau dijadikan istri oleh pangeran dan sejenis itu. Tidak heran pula bila perilaku koruptif pun ditolerir diterima sebagai sesuatu yang wajar.

3. Bagi orang Asia, pendidikan identik dengan hafalan berbasis “kunci jawaban” bukan pada pengertian. Ujian Nasional, tes masuk PT dll semua berbasis hafalan. Sampai tingkat sarjana, mahasiswa diharuskan hafal rumus2 Imu pasti dan ilmu hitung lainnya bukan diarahkan untuk memahami kapan dan bagaimana menggunakan rumus rumus tersebut.

4. Karena berbasis hafalan, murid-murid di sekolah di Asia dijejali sebanyak mungkin pelajaran. Mereka dididik menjadi “Jack of all trades, but master of none” (tahu sedikit sedikit tentang banyak hal tapi tidak menguasai apapun).

5. Karena berbasis hafalan, banyak pelajar Asia bisa jadi juara dalam Olimpiade Fisika, dan Matematika. Tapi hampir tidak pernah ada org Asia yang menang Nobel atau hadiah internasional lainnya yang berbasis inovasi dan kreativitas.

6. Orang Asia takut salah (KIASI) dan takut kalah (KIASU). Akibatnya sifat eksploratif sebagai upaya memenuhi rasa penasaran dan keberanian untuk mengambil resiko kurang dihargai.

7. Bagi kebanyakan bangsa Asia, bertanya artinya bodoh, makanya rasa penasaran tidak mendapat tempat dalam proses pendidikan di sekolah

8. Karena takut salah dan takut dianggap bodoh, di sekolah atau dalam seminar atau workshop, peserta jarang mau bertanya tetapi setelah sesi berakhir peserta mengerumuni guru / narasumber untuk minta penjelasan tambahan.

Di dalam bukunya Prof.Ng Aik Kwang menawarkan beberapa solusi sbb:

1. Hargai proses. Hargailah orang karena pengabdiannya bukan karena kekayaannya.

2. Hentikan pendidikan berbasis kunci jawaban. Biarkan murid memahami bidang yang paling disukainya

3. Jangan jejali murid dengan banyak hafalan, apalagi matematika. Untuk apa diciptakan kalkulator kalau jawaban utk X x Y harus dihapalkan? Biarkan murid memilih sedikit mata pelajaran tapi benar2 dikuasainya

4. Biarkan anak memilih profesi berdasarkan PASSION (rasa cinta) nya pada bidang itu, bukan memaksanya mengambil jurusan atau profesi tertentu yg lebih cepat menghasilkan uang

5. Dasar kreativitas adalah rasa penasaran berani ambil resiko. AYO BERTANYA!

6. Guru adalah fasilitator, bukan dewa yang harus tahu segalanya. Mari akui dengan bangga kalau KITA TIDAK TAHU!

7. Passion manusia adalah anugerah Tuhan..sebagai orang tua kita bertanggung-jawab untuk mengarahkan anak kita untuk menemukan passionnya dan mensupportnya.

Mudah-mudahan dengan begitu, kita bisa memiliki anak-anak dan cucu yang kreatif, inovatif tapi juga memiliki integritas dan idealisme tinggi tanpa korupsi

sumber: https://rinaldimunir.wordpress.com/2011/02/23/provokasi-prof-ng-aik-kwang/

MindSET untuk menyembuhkan penyakit

June 10, 2016

MindSET untuk menyembuhkan penyakit

Salam SEHAT,

Kami sedang antri periksa kesehatan. Dokter yang kami kunjungi ini termasuk dokter sepuh –berusia sekitar tujuh puluhan- spesialis penyakit “Silakan duduk,” sambut dr.Paulus.
Aku duduk di depan meja kerjanya, mengamati pria sepuh berkacamata ini yang sedang sibuk menulis identitasku di kartu pasien.

“Apa yang dirasakan, Mas?”

Aku pun bercerita tentang apa yang kualami sejak 2013 hingga saat ini. Mulai dari awal merasakan sakit maag, peristiwa-peristiwa kram perut, ambruk berkali-kali, gejala dan vonis tipes, pengalaman opnam dan endoskopi, derita GERD, hingga tentang radang duodenum dan praktek tata pola makan Food Combining yang kulakoni.

“Kalau kram perutnya sudah enggak pernah lagi, Pak,” ungkapku, “Tapi sensasi panas di dada ini masih kerasa, panik juga cemas, mules, mual. Kalau telat makan, maag saya kambuh. Apalagi setelah beberapa bulan tata pola makan saya amburadul lagi.”

“Tapi buat puasa kuat ya?”

“Kuat, Pak.”

“Orang kalau kuat puasa, harusnya nggak bisa kena maag!”

Aku terbengong, menunggu penjelasan.

“Asam lambung itu,” terang Pak Paulus, “Diaktifkan oleh instruksi otak kita. Kalau otak kita bisa mengendalikan persepsi, maka asam lambung itu akan nurut sendiri. Dan itu sudah bisa dilakukan oleh orang-orang puasa.”

“Maksudnya, Pak?”

“Orang puasa ‘kan malamnya wajib niat to?”

“Njih, Pak.”

“Nah, niat itulah yang kemudian menjadi kontrol otak atas asam lambung. Ketika situ sudah bertekad kuat besok mau puasa, besok nggak makan sejak subuh sampai maghrib, itu membuat otak menginstruksikan kepada fisik biar kuat, asam lambung pun terkendali. Ya kalau sensasi lapar memang ada, namanya juga puasa. Tapi asam lambung tidak akan naik, apalagi sampai parah. Itu syaratnya kalau situ memang malamnya sudah niat mantap. Kalau cuma di mulut bilang mau puasa tapi hatinya nggak mantap, ya tetap nggak kuat. Makanya niat itu jadi kewajiban, ‘kan?”

“Iya, ya, Pak,” aku manggut-manggut nyengir.

“Manusia itu, Mas, secara ilmiah memang punya tenaga cadangan hingga enam puluh hari. Maksudnya, kalau orang sehat itu bisa tetap bertahan hidup tanpa makan dalam keadaan sadar selama dua bulan. Misalnya puasa dan buka-sahurnya cuma minum sedikit. Itu kuat. Asalkan tekadnya juga kuat.”

Aku melongo lagi.

“Makanya, dahulu raja-raja Jawa itu sebelum jadi raja, mereka tirakat dulu. Misalnya puasa empat puluh hari. Bukanya cuma minum air kali. Itu jaman dulu ya, waktu kalinya masih bersih. Hahaha,” ia tertawa ringan, menambah rona wajahnya yang memang kelihatan masih segar meski keriput penanda usia.

Kemudian ia mengambil sejilid buku di rak sebelah kanan meja kerjanya. Ya, ruang praktek dokter dengan rak buku. Keren sekali. Aku lupa judul dan penulisnya. Ia langsung membuka satu halaman dan menunjukiku beberapa baris kalimat yang sudah distabilo hijau.

“Coba baca, Mas: ‘mengatakan adalah mengundang, memikirkan adalah mengundang, meyakini adalah mengundang’. Jadi kalau situ memikirkan; ‘ah, kalau telat makan nanti asam lambung saya naik’, apalagi berulang-ulang mengatakan dan meyakininya, ya situ berarti mengundang penyakit itu. Maka benar kata orang-orang itu bahwa perkataan bisa jadi doa. Nabi Musa itu, kalau kerasa sakit, langsung mensugesti diri; ah sembuh. Ya sembuh. Orang-orang debus itu nggak merasa sakit saat diiris-iris kan karena sudah bisa mengendalikan pikirannya. Einstein yang nemuin bom atom itu konon cuma lima persen pendayagunaan otaknya. Jadi potensi otak itu luar biasa,” papar Pak Paulus.

“Jadi kalau jadwal makan sembarangan berarti sebenarnya nggak apa-apa ya, Pak?”

“Nah, itu lain lagi. Makan harus tetap teratur, ajeg, konsisten. Itu agar menjaga aktivitas asam lambung juga. Misalnya situ makan tiga kali sehari, maka jarak antara sarapan dan makan siang buatla sama dengan jarak antara makan siang dan makan malam. Misalnya, sarapan jam enam pagi, makan siang jam dua belas siang, makan malam jam enam petang. Kalau siang, misalnya jam sebelas situ rasanya nggak sempat makan siang jam dua belas, ya niatkan saja puasa sampai sore. Jangan mengundur makan siang ke jam dua misalnya, ganti aja dengan minum air putih yang banyak. Dengan pola yang teratur, maka organ di dalam tubuh pun kerjanya teratur. Nah, pola teratur itu sudah bisa dilakukan oleh orang-orang yang puasa dengan waktu buka dan sahurnya.”

“Ooo, gitu ya Pak,” sahutku baru menyadari.

“Tapi ya itu tadi. Yang lebih penting adalah pikiran situ, yakin nggak apa-apa, yakin sembuh. Allah sudah menciptakan tubu kita untuk menyembuhkan diri sendiri, ada mekanismenya, ada enzim yang bekerja di dalam tubuh untuk penyembuhan diri. Dan itu bisa diaktifkan secara optimal kalau pikiran kita optimis. Kalau situ cemas, takut, kuatir, justru imunitas situ turun dan rentan sakit juga.”

Pak Paulus mengambil beberapa jilid buku lagi, tentang ‘enzim kebahagiaan’ endorphin, tentang enzim peremajaan, dan beberapa tema psiko-medis lain tulisan dokter-dokter Jepang dan Mesir.

“Situ juga berkali-kali divonis tipes ya?”

“Iya, Pak.”

“Itu salah kaprah.”

“Maksudnya?”

“Sekali orang kena bakteri thypoid penyebab tipes, maka antibodi terhadap bakteri itu bisa bertahan dua tahun. Sehingga selama dua tahun itu mestinya orang tersebut nggak kena tipes lagi. Bagi orang yang fisiknya kuat, bisa sampai lima tahun. Walaupun memang dalam tes widal hasilnya positif, tapi itu bukan tipes. Jadi selama ini banyak yang salah kaprah, setahun sampai tipes dua kali, apalagi sampai opnam. Itu biar rumah sakitnya penuh saja. Kemungkinan hanya demam biasa.”

“Haah?”

“Iya Mas. Kalaupun tipes, nggak perlu dirawat di rumah sakit sebenarnya. Asalkan dia masih bisa minum, cukup istirahat di rumah dan minum obat tipes. Sembuh sudah. Dulu, pernah di RS Sardjito, saya anjurkan agar belasan pasien tipes yang nggak mampu, nggak punya asuransi, rawat jalan saja. Yang penting tetep konsumsi obat dari saya, minum yang banyak, dan tiap hari harus cek ke rumah sakit, biayanya gratis. Mereka nurut. Itu dalam waktu maksimal empat hari sudah pada sembuh. Sedangkan pasien yang dirawat inap, minimal baru bisa pulang setelah satu minggu, itupun masih lemas.”

“Tapi ‘kan pasien harus bedrest, Pak?”

“Ya ‘kan bisa di rumah.”

“Tapi kalau nggak pakai infus ‘kan lemes terus Pak?”

“Nah situ nggak yakin sih. Saya yakinkan pasien bahwa mereka bisa sembuh. Asalkan mau nurut dan berusaha seperti yang saya sarankan itu. Lagi-lagi saya bilang, kekuatan keyakinan itu luar biasa lho, Mas.”

Dahiku berkernyit. Menunggu lanjutan cerita.

“Dulu,” lanjut Pak Paulus, “Ada seorang wanita kena kanker payudara. Sebelah kanannya diangkat, dioperasi di Sardjito.
Nggak lama, ternyata payudara kirinya kena juga. Karena nggak segera lapor dan dapat penanganan, kankernya merembet ke paru-paru dan jantung. Medis di Sardjito angkat tangan.

Dia divonis punya harapan hidup maksimal hanya empat bulan.”

“Lalu, Pak?” tanyaku antusias.

“Lalu dia kesini ketemu saya. Bukan minta obat atau apa.
Dia cuma nanya; ‘Pak Paulus, saya sudah divonis maksimal empat bulan.

Kira-kira bisa nggak kalau diundur jadi enam bulan?’

Saya heran saat itu, saya tanya kenapa.

Dia bilang bahwa enam bulan lagi anak bungsunya mau nikah, jadi pengen ‘menangi’ momen itu.”

“Waah.. Lalu, Pak?”

“Ya saya jelaskan apa adanya. Bahwa vonis medis itu nggak seratus persen, walaupun prosentasenya sampai sembilan puluh sembilan persen,
tetap masih ada satu persen berupa kepasrahan kepada Tuhan yang bisa mengalahkan vonis medis sekalipun.
Maka saya bilang; sudah Bu, situ nggak usah mikir bakal mati empat bulan lagi.
Justru situ harus siap mental, bahwa hari ini atau besok situ siap mati.
Kapanpun mati, siap!
Begitu, situ pasrah kepada Tuhan, siap menghadap Tuhan kapanpun. Tapi harus tetap berusaha bertahan hidup.”

Aku tambah melongo. Tak menyangka ada nasehat macam itu.
Kukira ia akan memotivasi si ibu agar semangat untuk sembuh, malah disuruh siap mati kapanpun.
O iya, mules mual dan berbagai sensasi ketidaknyamanansudah tak kurasakan lagi.

“Dia mau nurut. Untuk menyiapkan mental siap mati kapanpun itu dia butuh waktu satu bulan.
Dia bilang sudah mantap, pasrah kepada Tuhan bahwa dia siap.
Dia nggak lagi mengkhawatirkan penyakit itu, sudah sangat enjoy.
Nah, saat itu saya cuma kasih satu macam obat. Itupun hanya obat anti mual biar dia tetap bisa makan dan punya energi untuk melawan kankernya.

Setelah hampir empat bulan, dia check-up lagi ke Sardjito dan di sana dokter yang meriksa geleng-geleng. Kankernya sudah berangsur-angsur hilang!”

“Orangnya masih hidup, Pak?”

“Masih. Dan itu kejadian empat belas tahun lalu.”

“Wah, wah, wah..”

“Kejadian itu juga yang menjadikan saya yakin ketika operasi jantung dulu.”

“Lhoh, njenengan pernah Pak?”

“Iya.

Dulu saya operasi bedah jantung di Jakarta. Pembuluhnya sudah rusak. Saya ditawari pasang ring.

Saya nggak mau. Akhirnya diambillah pembuluh dari kaki untuk dipasang di jantung.

Saat itu saya yakin betul sembuh cepat. Maka dalam waktu empat hari pasca operasi, saya sudah balik ke Jogja, bahkan dari bandara ke sini saya nyetir sendiri.
Padahal umumnya minimal dua minggu baru bisa pulang.
Orang yang masuk operasi yang sama bareng saya baru bisa pulang setelah dua bulan.”

Pak Paulus mengisahkan pengalamannya ini dengan mata berbinar. Semangatnya meluap-luap hingga menular ke pasiennya ini. Jujur saja, penjelasan yang ia paparkan meningkatkan harapan sembuhku dengan begitu drastis.

Persis ketika dua tahun lalu pada saat ngobrol dengan Bu Anung tentang pola makan dan kesehatan. Semangat menjadi kembali segar!

“Tapi ya nggak cuma pasrah terus nggak mau usaha.
Saya juga punya kenalan dokter,” lanjutnya,
“Dulu tugas di Bethesda, aslinya Jakarta, lalu pindah mukim di Tennessee, Amerika.

Di sana dia kena kanker stadium empat. Setelah divonis mati dua bulan lagi, dia akhirnya pasrah dan pasang mental siap mati kapanpun.

Hingga suatu hari dia jalan-jalan ke perpustakaan, dia baca-baca buku tentang Afrika.
Lalu muncul rasa penasaran, kira-kira gimana kasus kanker di Afrika.
Dia cari-cari referensi tentang itu, nggak ketemu. Akhirnya dia hubungi kawannya, seorang dokter di Afrika Tengah.

Kawannya itu nggak bisa jawab.
Lalu dihubungkan langsung ke kementerian kesehatan sana. Dari kementerian, dia dapat jawaban mengherankan, bahwa di sana nggak ada kasus kanker.
Nah dia pun kaget, tambah penasaran.”

Pak Paulus jeda sejenak. Aku masih menatapnya penuh penasaran juga, “Lanjut, Pak,” benakku.

“Beberapa hari kemudian dia berangkat ke Afrika Tengah.
Di sana dia meneliti kebiasaan hidup orang-orang pribumi. Apa yang dia temukan?
Orang-orang di sana makannya sangat sehat.
Yaitu sayur-sayuran mentah, dilalap, nggak dimasak kayak kita.

Sepiring porsi makan itu tiga perempatnya sayuran, sisanya yang seperempat untuk menu karbohidrat. Selain itu, sayur yang dimakan ditanam dengan media yang organik. Pupuknya organik pake kotoran hewan dan sisa-sisa tumbuhan.

Jadi ya betul-betul sehat.
Nggak kayak kita, sudah pupuknya pakai yang berbahaya, eh pakai dimasak pula. Serba salah kita.

Bahkan beras merah dan hitam yang sehat-sehat itu, kita nggak mau makan.
Malah kita jadikan pakan burung, ya jadinya burung itu yang sehat, kitanya sakit-sakitan.”

Keterangan ini mengingatkanku pada obrolan dengan Bu Anung tentang sayur mayur, menu makanan serasi, hingga beras sehat. Pas sekali.

“Nah dia yang awalnya hanya ingin tahu, akhirnya ikut-ikutan.

Dia tinggal di sana selama tiga mingguan dan menalani pola makan seperti orang-orang Afrika itu.”

“Hasilnya, Pak?”

“Setelah tiga minggu, dia kembali ke Tennessee.

Dia mulai menanam sayur mayur di lahan sempit dengan cara alami.
Lalu beberapa bulan kemudian dia check-up medis lagi untuk periksa kankernya,”

“Sembuh, Pak?”

“Ya! Pemeriksaan menunjukkan kankernya hilang.
Kondisi fisiknya berangsur-angsur membaik. Ini buki bahwa keyakinan yang kuat, kepasrahan kepada Tuhan, itu energi yang luar biasa.

Apalagi ditambah dengan usaha yang logis dan sesuai dengan fitrah tubuh.

Makanya situ nggak usah cemas, nggak usah takut..”

Takjub, tentu saja.

Pada momen ini Pak Paulus menghujaniku dengan pengalaman-pengalamannya di dunia kedokteran, tentang kisah-kisah para pasien yang punya optimisme dan pasien yang pesimis.

Aku jadi teringat kisah serupa yang menimpa alumni Madrasah Huffadh Al-Munawwir, pesantren tempatku belajar saat ini.

Singkatnya, santri ini mengidap tumor ganas yang bisa berpindah-pindah benjolannya.

Ia divonis dokter hanya mampu bertahan hidup dua bulan. Terkejut atas vonis ini, ia misuh-misuh di depan dokter saat itu.
Namun pada akhirnya ia mampu menerima kenyataan itu.

Ia pun bertekad menyongsong maut dengan percaya diri dan ibadah. Ia sowan ke Romo Kiai, menyampaikan maksudnya itu.

Kemudian oleh Romo Kiai, santri ini diijazahi (diberi rekomendasi amalan)
Riyadhoh Qur’an, yakni amalan membaca Al-Quran tanpa henti selama empat puluh hari penuh, kecuali untuk memenuhi hajat dan kewajiban primer.

Riyadhoh pun dimulai.
Ia lalu hari-hari dengan membaca Al-Quran tanpa henti.

Persis di pojokan aula Madrasah Huffadh yang sekarang. Karena merasa begitu dingin, ia jadikan karpet sebagai selimut.

Hari ke tiga puluh, ia sering muntah-muntah, keringatnya pun sudah begitu bau.

Bacin, mirip bangkai tikus, kenang narasumber yang menceritakan kisah ini padaku. Hari ke tiga puluh lima, tubuhnya sudah nampak lebih segar, dan ajaibnya; benjolan tumornya sudah hilang.

Selepas rampung riyadhoh empat puluh hari itu, dia kembali periksa ke rumah sakit di mana ia divonis mati.

Pihak rumah sakit pun heran.
Penyakit pemuda itu sudah hilang, bersih, dan menunjukkan kondisi vital yang sangat sehat!

Aku pribadi sangat percaya bahwa gelombang yang diciptakan oleh ritual ibadah bisa mewujudkan energi positif bagi fisik.

Khususnya energi penyembuhan bagi mereka yang sakit.

Memang tidak mudah untuk sampai ke frekuensi itu, namun harus sering dilatih. Hal ini diiyakan oleh Pak Paulus.

“Untuk melatih pikiran biar bisa tenang itu cukup dengan pernapasan.

Situ tarik napas lewat hidung dalam-dalam selama lima detik, kemudian tahan selama tiga detik. Lalu hembuskan lewat mulut sampai tuntas. Lakukan tujuh kali setiap sebelum Shubuh dan sebelum Maghrib.

Itu sangat efektif. Kalau orang pencak, ditahannya bisa sampai tuuh detik.
Tapi kalau untuk kesehatan ya cukup tiga detik saja.”

Nah, anjuran yang ini sudah kupraktekkan sejak lama. Meskipun dengan tata laksana yang sedikit berbeda.

Terutama untuk mengatasi insomnia. Memang ampuh. Yakni metode empat-tujuh-delapan.

Ketika merasa susah tidur alias insomnia, itu pengaruh pikiran yang masih terganggu berbagai hal.

Maka pikiran perlu ditenangkan, yakni dengan pernapasan.
Tak perlu obat, bius, atau sejenisnya, murah meriah.

Pertama, tarik napas lewat hidung sampai detik ke empat, lalu tahan sampai detik ke tujuh, lalu hembuskan lewat mulut pada detik ke delapan. Ulangi sebanyak empat sampai lima kali.

Memang iya mata kita tidak langsung terpejam ngantuk, tapi pikiran menadi rileks dan beberapa menit kemudian tanpa terasa kita sudah terlelap.
Awalnya aku juga agak ragu, tapi begitu kucoba, ternyata memang ampuh. Bahkan bagi yang mengalami insomnia sebab rindu akut sekalipun.

“Gelombang yang dikeluarkan oleh otak itu punya energi sendiri, dan itu bergantung dari seberapa yakin tekad kita dan seberapa kuat konsentrasi kita,” terangnya,

“Jadi kalau situ sholat dua menit saja dengan khusyuk, itu sinyalnya lebih bagus ketimbang situ sholat sejam tapi pikiran situ kemana-mana, hehehe.”

Duh, terang saja aku tersindir di kalimat ini.

“Termasuk dalam hal ini adalah keampuhan sholat malam.

Sholat tahajud. Itu ketika kamu baru bangun di akhir malam, gelombang otak itu pada frekuensi Alpha. Jauh lebih kuat daripada gelombang Beta yang teradi pada waktu Isya atau Shubuh.
Jadi ya logis saja kalau doa di saat tahajud itu begitu cepat ‘naik’ dan terkabul. Apa yang diminta, itulah yang diundang.
Ketika tekad situ begitu kuat, ditambah lagi gelombang otak yang lagi kuat-kuatnya, maka sangat besar potensi terwujud doa-doa situ.”

Tak kusangka Pak Paulus bakal menyinggung perihal sholat segala.
Aku pun ternganga. Ia menunjukkan sampul buku tentang ‘enzim panjang umur’.

“Tubuh kita ini, Mas, diberi kemampuan oleh Allah unuk meregenerasi sel-sel yang rusak dengan bantuan enzim tertentu, populer disebut dengan enzim panjang umur.
Secara berkala sel-sel baru terbentuk, dan yang lama dibuang.
Ketika pikiran kita positif untuk sembuh, maka yang dibuang pun sel-sel yang terkena penyakit.
Menurut penelitian, enzim ini bisa bekerja dengan baik bagi mereka yang sering merasakan lapar dalam tiga sampai empat hari sekali.”

Pak Paulus menatapku, seakan mengharapkan agar aku menyimpulkan sendiri.

“Puasa?”

“Ya!”

“Senin-Kamis?”

“Tepat sekali! Ketika puasa itu regenerasi sel berlangsung dengan optimal.

Makanya orang puasa sebulan itu juga harusnya bisa jadi detoksifikasi yang ampuh terhadap berbagai penyakit.”

Lagi-lagi, aku manggut-manggut.

Tak asing dengan teori ini.

“Pokoknya situ harus merangsang tubuh agar bisa menyembuhkan diri sendiri.

Jangan ketergantungan dengan obat. Suplemen yang nggak perlu-perlu amat, nggak usahlah.
Minum yang banyak, sehari dua liter, bisa lebih kalau situ banyak berkeringat, ya tergantung kebutuhan.

Tertawalah yang lepas, bergembira, nonton film lucu tiap hari juga bisa merangsang produksi endorphin, hormon kebahagiaan. Itu akan sangat mempercepat kesembuhan.

Penyakit apapun itu!
Situ punya radang usus kalau cemas dan
Penyakit apapun itu!
Situ punya radang usus kalau cemas dan khawatir terus ya susah sembuhnya.

Termasuk asam lambung yang sering kerasa panas di dada itu.”

Terus kusimak baik-baik anjurannya sambil mengelus perut yang tak lagi terasa begah. Aneh.

“Tentu saja seperti yang saya sarankan, situ harus teratur makan, biar asam lambung bisa teratur juga.

Bangun tidur minum air hangat dua gelas sebelum diasupi yang lain.

Ini saya kasih vitamin saja buat situ, sehari minum satu saja. Tapi ingat, yang paling utama adalah kemantapan hati, yakin, bahwa situ nggak apa-apa. Sembuh!”

Begitulah. Perkiraanku yang tadinya bakal disanguni berbagai macam jenis obat pun keliru.

Hanya dua puluh rangkai kaplet vitamin biasa, Obivit, suplemen makanan yang tak ada kaitannya dengan asam lambung apalagi GERD.

Hampir satu jam kami ngobrol di ruang praktek itu, tentu saja ini pengalaman yang tak biasa. Seperti konsultasi dokter pribadi saja rasanya.

Padahal saat keluar, kulihat masih ada dua pasien lagi yang kelihatannya sudah begitu jengah menunggu.

“Yang penting pikiran situ dikendalikan, tenang dan berbahagia saja ya,” ucap Pak Paulus sambil menyalamiku ketika hendak pamit.

Dan jujur saja, aku pulang dalam keadaan bugar, sama sekali tak merasa mual, mules, dan saudara-saudaranya.

Terima kasih Pak Paulus.

Kadipiro Yogyakarta, 17 Februari 2016

Jangan anggap remeh Moral dan Etika

November 6, 2015

Jangan anggap remeh Moral dan Etika
Dua belas tahun lalu, seorang wanita pergi kuliah di Prancis. Namun, dia harus bekerja sambil kuliah. Dia memperhatikan bahwa sistem transportasinya ternyata menggunakan sistem “otomatis”, artinya Anda membeli tiket sesuai dengan tujuan melalui mesin. Setiap perhentian transportasi umum memakai cara “self-service” dan jarang sekali diperiksa oleh petugas. Bahkan pemeriksaan insidentil oleh petugas pun hampir tidak ada. Setelah dia menemukan kelemahan sistem ini, dengan kelicikannya, dia memperhitungkan bahwa kemungkinan tertangkap petugas karena tidak membeli tiket sangat kecil. Sejak itu, dia selalu naik transportasi umum tersebut dengan tidak membayar tiket. Dia bahkan merasa bangga atas kelicikannya. Dia juga menghibur diri karena dia anggap dirinya adalah mahasiswa miskin, dan kalau bisa harus hidup seirit mungkin. Namun, dia tidak menyadari bahwa dia sedang melakukan kesalahan fatal yang akan mempengaruhi karirnya.

Setelah 4 tahun berlalu, dia tamat dari sebuah kampus ternama dengan nilai yang sangat bagus. Ini semakin membuatnya penuh dengan kepercayaan diri. Dia mulai melamar kerja di beberapa perusahaan ternama di Paris dengan harapan besar akan diterima. Pada mulanya, semua perusahaan ini menyambut dia dengan hangat. Namun, berapa hari kemudian, semua perusahaan tersebut menolaknya untuk bekerja.

Kegagalan yang terjadi berulang kali tersebut membuatnya sangat marah. Dia mulai menganggap perusahaan-perusahaan ini rasis, tidak mau menerima warga negara asing. Akhirnya, dia memaksa masuk ke departemen tenaga kerja untuk bertemu dengan manajernya. Dia ingin tahu apa alasan semua perusahaan tersebut menolaknya bekerja. Ternyata, penjelasannya di luar persangkaannya.
Berikut ini adalah dialog mereka berdua:

Manajer: “Nona, kami tidak rasis, sebaliknya kami sangat mementingkanmu. Pada saat Anda melamar bekerja di perusahaan, kami terkesan dengan pendidikan dan pencapaian Anda. Sesungguhnya, berdasarkan kemampuan, Anda sebenarnya pekerja yang kami cari.”

Wanita: “Kalau begitu, kenapa tidak ada perusahaan yang menerimaku bekerja?”

Manajer: “Karena kami memeriksa sejarahmu, ternyata Anda pernah tiga kali kena sanksi tidak membayar tiket saat naik transportasi umum.”

Wanita: “Aku mengakuinya. Tapi masa sih karena perkara kecil ini maka perusahaan menolak pekerja yang mahir dan banyak sekali tulisannya yang terbit di majalah?”

Manajer: “Perkara kecil? Kami tidak menganggap ini perkara kecil. Kami perhatikan bahwa pertama kali Anda melanggar hukum, itu terjadi di minggu pertama Anda masuk negara ini. Petugas percaya dengan penjelasan bahwa Anda masih belum mengerti sistem pembayaran. Anda diampuni, tapi kemudian Anda tertangkap 2 kali lagi setelah itu.”

Wanita: “Oh, karena saat itu tidak ada uang kecil di kantong saya.”

Manajer: “Tidak, tidak. Kami tidak bisa menerima penjelasan Anda. Jangan anggap kami bodoh. Kami yakin Anda telah melakukan penipuan ratusan kali sebelum tertangkap.”

Wanita: “Itu bukanlah kesalahan yang mematikan. Kenapa harus sebegitu serius? Lain kali saya akan berubah, masih bisa bukan?”

Manajer: “Saya tidak anggap demikian. Perbuatan Anda membuktikan dua hal:

1. Anda tidak mengikuti peraturan yang ada. Anda pandai mencari-cari kelemahan dalam peraturan dan memanfaatkannya untuk kepentingan diri sendiri.

2. Anda tidak bisa dipercaya. Banyak pekerjaan di perusahaan kami tergantung pada kepercayaan. Jika Anda diberikan tanggung jawab atas penjualan di sebuah wilayah, maka Anda akan diberikan kuasa yang besar. Demi ongkos, kami tidak sanggup memakai sistem kontrol untuk mengawasi pekerjaanmu. Perusahaan kami mirip dengan sistem transportasi di negeri ini. Oleh sebab itu, kami tidak bisa memakai Anda. Saya berani katakan, di negara kami, bahkan di seluruh Eropa, tidak ada perusahaan yang mau memakai Anda.”

Pada saat itu, wanita ini seperti terbangun dari mimpinya dan merasa sangat menyesal. Perkataan manajer yang terakhir telah membuat hatinya gentar.

Moral dan etika bisa menutupi kekurangan IQ atau kepintaran. Tetapi IQ atau kepintaran bagaimanapun tidak akan bisa menolong etika yang buruk.

*bukan tulisan sendiri

Belajar Dari Korea Selatan

January 29, 2015

Belajar Dari Korea Selatan
21 Nov 2014
Muhammad Kholid

Tulisan ini adalah kelanjutan dari pembahasan di tulisan saya sebelumnya “Hati Hati Jebakan Pendapatan Menengah!”. Selamat Membaca.

Pada tahun 1960, pendapatan per kapita Korea Selatan tidak jauh berbeda dengan Indonesia yakni USD 79 (low income country). Namun, selama 1970-2002 rata-rata pertumbuhan ekonomi mampu mencapai 7,2 persen per tahun sehingga kinerja ini mampu meningkatkan pendapatan per kapita sebesar 180 kali lipat menjadi USD 12,638 di tahun 2003 (Yim & Kim, 2005). Tahun 2013, pendapatan per kapita Korea Selatan sudah mencapai sekitar USD26.000 dan masuk dalam jajaran negara-negara berpendapatan tinggi (high income countries).

Dunia pun menyaksikan, bagaimana Korea Selatan yang di tahun 1960-an adalah negara miskin, terbelakang, sangat tradisional dan didominasi kegiatan pertanian subsisten, namun dalam kurun waktu 3 hingga 4 dekade kemudian berubah dengan sangat cepat menjadi raksasa Asia baru dengan berbagai macam produk teknologi canggihnya di pasar global.

Para pelaku bisnis pun mengakui bagaimana Samsung mampu menantang dominasi Apple di pasar industri teknologi tinggi. Bahkan, Samsung Galaxy Tab sendiri telah menjadi market leader di Indonesia. Di industri otomotif ada Hyundai yang telah mampu berkompetisi dengan mobil-mobil mewah dari Eropa, Amerika Serikat dan Jepang. Ada POSCO sebagai salah satu produsen baja terbesar di dunia. Samsung dan 16 perusahaan unggulan Korea Selatan pun sukses masuk dalam Fortune 500 Global Companies di tahun 2014.

Bagaimana Korea Selatan mampu melakukannya?

Para ahli knowledge management dan kebijakan teknologi menyimpulkan bahwa kuatnya Sistem Inovasi Nasional (National Innovation System) adalah kunci kebehasilan transformasi ekonomi Korea Selatan (Chung 1999; Kim 1993, 2001; Lim 2000; Suh 2000). Sistem Inovasi Nasional adalah kolaborasi peran antara pemerintah (public sector), industri dan Universitas dalam melakukan technological learning and transfer untuk memperkuat kemampuan perusahaan dan atau suatu negara dalam menghasilkan inovasi teknologi (Nelson,1995; Lundval, 1992). Banyak studi menunjukkan bahwa pengalaman negara-negara maju sebelumnya yang berhasil mengubah perekonomiannya dari tradisional menuju perekonomian yang modern adalah negara-negara yang mampu melakukan inovasi teknologi (Grossman, 1991).

Professor Linsu Kim dari Korea University yang juga merupakan arsitek kebijakan inovasi teknologi Korea Selatan membagi tiga tahap perjalanan inovasi teknologi negaranya sehingga mampu mencipatakan Sistem Inovasi Nasional yang mumpuni.

Pertama, duplicative imitation (1960-pertengahan 1970). Pada tahap ini, baik perusahaan, universitas maupun institusi pemerintahan masih belum memiliki kemampuan melakukan inovasi teknologi. Permintaan akan inovasi teknologi juga belum ada atau rendah, mengingat perekonomian masih tradisional, bernilai tambah rendah dan mengandalkan factor-faktor produksi yang murah. Kebijakan yang bisa dilakukan adalah membeli produk teknologi yang sudah mature di pasar dan digunakan dalam proses pembangunan ekonomi.

Pada tahap ini, kebijakan technological borrowing dengan cara mempelajari proses dan produk teknologi yang sudah matang (reverse engineering) sebagai sebuah proses pembelajaran teknologi di level perusahaan penting untuk dijalankan. Optimalisasi manfaat efek limpahan teknologi dalam proses foreign direct investment juga dilakukan. Karena di tahap ini permintaan teknologi masih belum tinggi, maka pemerintah berinisiatif menciptakan permintaan tersebut dengan membentuk 20 Government Research Institutes (GRIs) untuk 20 sektor industri strategis yang menjadi prioritas pembangunan.

Oleh karena itu, pemerintah Korea membentuk pusat pengembangan IPTEK yakni Korea Institute of Science and Technology (KIST) pada tahun 1966. Pada periode awal ini, Ministry of Science and Technology (MOST) dan KIST memegang peranan yang sangat sentral dalam meletakan fondasi bangunan Sistem Inovasi Nasional yang kokoh.

Kedua, creative imitation (akhir 1970 – akhir 1980). Kebijakan penciptaan permintaan akan teknologi dengan membentuk KIST dan 20 GRIs menstimulasi terjadinya proses pembelajaran terhadap penggunaan dan penciptaan teknologi imitatif. Penggunaan dan penciptaan teknologi imitatif ini juga berdampak pada peningkatan efisiensi dan efektifitas kinerja perusahaan. Perusahaan-perusahaan ini lambat laun menyadari pentingnya penguasaan teknologi untuk membuat lompatan produktivitas output dan outcome perusahaan. Para pemimpin perusahaan ini pun mulai memahami arti penting teknologi sebagai kunci peningkatan daya saing perusahaan mereka di masa mendatang.

Proses technological learning di tingkat perusahaan dilakukan dengan cara mempelajari explicit knowledge (pengetahuan formal yang bisa dipelajari di bangku sekolahan atau training) dan tacit knowledge (pengetahuan yang dipelajari dengan cara pembiasaan, tindakan dan pengerjaan di lapangan melalaui proses learning by doing). Sinergi GRIs dan Industri mendorong universitas meningkatkan kemampuannya melakukan diseminasi ide dan mendorong terjadinya difusi teknologi. Universitas mulai melakukan peningkatan kemampuan Research & Development, baik untuk basic research maupun applied research bagi pengembangan industri. Jika ditahap duplicative imitation hampir seluruh dananya dari pemerintah, di tahap kedua ini industri mulai melakukan investasi R&D untuk pengembangan kemampuan inovasi perusahaan. Hal ini terbukti peningkatan R&D industri dari awalnya hanya 3 persen di tahun 1970 menjadi 75 persen dari total pengeluaran nasional untuk R&D di tahun 1985. Dan mayoritas investasi R&D itu dilakukan para Chaebol seperti Samsung, Hyundai, Daewoo dll (Kim & Yi, 1997). Pada tahap ini juga mulai dilakukan reorganisasi dan spesialisasi investasi R&D sehingga lebih fokus dalam mendorong adanya inovasi teknologi. Untuk memperkokoh kegiatan R&D, pemerintah membangun Universitas besar khusus untuk pengembangan ilmu pengatahuan dan teknologi, yakni Korea Advance Institute of Science and Technology (KAIST) pada tahun 1971. Di tahap ini juga pemerintah Korea melalui MOST membuat NRDP (National R&D Program).

Ketiga, innovation (awal 1990- sekarang). Runtuhnya tembok berlin dan revolusi ICT menandai era baru globalisasi dengan cirinya hyper-competition. Korea Selatan sadar bahwa jika hanya membuat produk teknologi imitatif (baik itu duplicative maupun creative), Korea Selatan bisa dipastikan tidak akan mampu bersaing di lanskap persaingan ekonomi global. Jika tidak ada arah perubahan kebijakan teknologinya, maka Korea akan menjadi victim dari globalisasi tersebut. Menyadari kondisi tersebut, pemerintah, industri dan universitas berkomiten untuk memperkuat lagi Sistem Inovasi Nasional yang sudah dibangun di dua tahap sebelumnya. Jika sebelumnya pemerintah yang memimpin pembentukan dan pembangunan Sistem Inovasi Nasional, di tahap ini, justru industri yang memimpin revolusi inovasi teknologi. Hal ini bisa dilihat pada tahun 1990, industri melakukan investasi R&D sebesar USD 4,7 milyar dan di tahun 1997 meningkat hampir tiga kali lipat menjadi USD 12,8 milyar (Kim,2001).

Pemerintah sendiri lebih fokus dalam memberikan insentif fiskal yang kompetitif bagi peningkatan daya saing industri, membangun secara masif infrastruktur lunak dan keras, melakukan reformasi birokrasi secara konsisten, menyekolahkan mahasiswa-mahasiswanya secara agresif ke kampus-kampus terbaik didunia, memperkuat implementasi good governance di semua jenjang pemerintahan. Tidak hanya MOST, Kementrian Komunikasi dan Teknologi Informasi dan Kementrian Industri dan Perdagangan juga secara proaktif mendorong kebijakan ekspor produk-produk inovasi teknologi ke pasar dunia. Di saat yang sama, Universitas mengarahkan R&D untuk future technology, pengembangan Science Parks dan pusat-pusat inkubasi teknologi, menyediakan SDM-SDM peneliti handal dan ilmuwan-ilmuwan kelas dunia. Di tahap ini pula, Kementrian Pendidikan juga digabungkan dengan Kementrian Riset dan Teknologi. Penyatuan Kementrian Pendidikan dan Ristek dilatar belakangi karena linkage antara Industri dan Universitas sudah sangat kuat dan butuh pengaturan satu atap di satu kementrian.

Modal Indonesia

Tiga tahap inovasi teknologi di atas adalah sebuah upaya ‘Self Discovery’ dari proses pembangunan ekonomi nasional Korea Selatan. Tentunya, setiap negara memiliki karakteristik, keunggulan dan faktor-faktor yang tidak sama. Setiap negara memiliki tantangan yang berbeda dalam menemukan jalan pembangunannya. Namun demikian, pengalaman Korea Selatan ini menunjukkan arti penting penguatan Sistem Inovasi Nasional. Start pembangunan ekonomi Korea Selatan dan Indonesia sama, namun kondisi hari ini menunjukkan hasil yang jauh berbeda.

Fakta ini harus jadi refleksi nasional mengapa ini bisa terjadi? Tesis Paul Krugman yang mematahkan teori keajaiban Asia pada tahun 1994 masih relevan untuk dijadikan rujukan awal. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi yang dialami Indonesia selama tiga dekade itu adalah pertumbuhan yang unsustainable, karena pertumbuhan itu hanya meningkatkan input lewat labor cost yang rendah dan akumulasi modal yang tinggi. Sedangkan total factor productivity dalam hal ini kapabilitas inovasi teknologi kurang berkembang dengan baik. Teori ‘Paper Tigers‘ yang dicetuskan Nouriel Roubini dkk juga perlu menjadi catatan serius bahwa sumber kejatuhan ekonomi-ekonomi Asia Timur termasuk Indonesia tahun 1998 adalah masalah moral hazard dan governance yang buruk. Perilaku ini yang menyebabkan kebijakan tidak pruden, excessive debt, over investment sehingga menjadi bom waktu bagi perekonomian nasional.

Saat ini Indonesia memiliki modal yang sangat bagus untuk bisa mengikuti jalan sukses ini. Selama 2 dekade mendatang, Indonesia menikmati bonus demografi dimana mayoritas populasinya masuk kategori usia produktif. Ekonomi Indonesia surplus permintaan, tinggal sisi penawaran (industri, teknologi, kualitas SDM dan infrastruktur) yang harus bisa melakukan catch-up. Demokrasi dan politik nasional yang relatif stabil juga menjadi asset yang sangat berharga bagi pembangunan. Kapasitas fiskal yang luar biasa besar menjadi peluang bagi upaya Big Push kebijakan inovasi dan teknologi, tinggal dilakukan reformasi fiskal yang sehat dan lebih berpihak pada pengembangan inovasi teknologi. Kita tentunya berharap, ikhtiar pemerintah Jokowi-JK dengan membentuk Kementrian Ristek dan Dikti dalam satu atap kementrian bukan sekedar menggabungkan dua insitusi yang berbeda tanpa ada arah yang jelas mau kemana kita melangkah. Kebijakan ini harus mampu membangunkan kembali Sistem Inovasi Nasional kita yang mungkin sudah agak lama tertidur pulas. Saatnya Bangkit, Indonesiaku!

sumber: https://www.selasar.com/politik/belajar-dari-korea-selatan

Rahasia Kemajuan Korea Selatan (Bagian 2, Selesai)

January 29, 2015

Rahasia Kemajuan Korea Selatan (Bagian 2, Selesai)
06 Jan 2015
Hazairin Pohan

Pada bagian pertama catatan saya dari perjalanan ke Korea Selatan di-ungkapkan betapa pentingnya pendidikan untuk penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, dilandasi rasa percaya diri dan keyakinan.

Pada awal Repelita I di tahun 1962, Presiden Park Chung-hee menghadapi tantangan yang luar biasa. Kondisi dalam negeri mengalami kemiskinan, kelaparan dan kesusahan melanda di seluruh pelosok negeri. Tetapi, di sana ada harapan untuk kebangkitan dicanangkan. Ada masa depan yang cerah jika kita akan berupaya, berikhtiar menghadapi semua tantangan, dalam dan luar negeri. Maklum, negeri ini baru saja menyelesaikan Perang Korea di tahun 1953 dan mesiu ancaman perang masih tajam menyengat hidung.

Pengiriman Tenaga Kerja

Isu pengiriman tenaga kerja ke luar negeri bukan asing bagi kita. Banyak kesedihan di sana, namun tidak kurang secercah harapan ditumpukan di negeri orang, guna memperbaiki nasib jika keadaan di dalam negeri tidak lebih baik.

Bagaimana dengan Korea? Di negeri Korea yang miskin sumber daya alam, satu-satunya andalan Park adalah ‘sumberdaya manusia’. Tidak mudah bagi Korea, karena negeri ini miskin dan hanya memiliki tenaga kerja industri tanpa sumber daya alam yang berarti. Sebelum melangkah ke pengiriman tenaga kerja, Presiden Park mencoba meminjam uang dari Amerika Serikat. Gagal. Alasannya, Amerika tidak mendukung rejim militer yang represif dan tidak demokratis, apalagi Korea bukanlah negeri petro dolar dengan kekayaan alam yang melimpah. Tidak ada insentif bagi Amerika untuk memenuhi permintaan Park.

Selanjutnya Park mencoba meminjam uang dari Jerman Barat. Sebagai pendukung Amerika, sulit bagi Jerman untuk memberikan pinjaman kepada pemerintah represif junta militer. Park bergeming dan menawarkan untuk mengirim tenaga kerja industri, penambang serta perawat sebagai pembayaran atas pinjaman luar negerinya. Presiden Jerman setuju karena kekurangan tenaga kerja untuk membangun post-war Germany. Upah para pekerja itu dibayar Park dengan mata uang Won di dalam negeri, dan sementara kebutuhan mereka ketika bekerja di Jerman dipenuhi seadanya. Ini disetujui Jerman.

Rakyat Korea pun berbondong-bondong mendaftar, diseleksi dan dikirimkan. Lebih dari sekadar memperbaiki nasib diri sendiri dan keluarga, di sana ada semangat patriotisme, kesediaan berkorban untuk negeri tercita, untuk Ibu Pertiwi. Ini saya sebut resep keempat bagi kesuksesan Korea: kesiapan rakyatnya untuk berkorban demi untuk tujuan yang lebih baik. Tentu saja, syarat kepemimpinan yang didukung rakyat menjadi faktor penting. Park anti KKN dan ternyata miskin di akhir jabatannya.

Di kala negeri memanggil, rakyat pun siap berkorban, baik untuk perang maupun untuk membangun. Ketika negeri ini ditimpa krisis moneter di tahun 1997-1998, rakyatnya mengumpulkan emas dan menyumbangkannya kepada pemerintah, dengan suka rela. 320 ton emas terkumpul dalam waktu singkat!

Di negeri-negeri Asia yang mengalami krisis moneter program Korea ini ditiru. Sebagian berhasil di Thailand, tetapi gagal total di Indonesia. Ketika itu, tidak ada yang mau menyumbangkan emasnya karena tahu kesulitan moneter itu akibat ulah konglomerat untuk kepentingannya. Konglomerat Korea atau Chaebol memang menjadi penyebab anjloknya ekonomi (buble) tetapi chaebol ini bergerak menjadi ‘instrumen’ negara, dan di sana digantungkan harapan untuk bekerja. Karena itu, ketika Korea juga ambruk karena krisis moneter, semua pihak merasa memiliki dan mau berkorban.

“Naik sama-sama, turun juga sama-sama,” kata teman saya Albert, mengisahkan semangat komunitas dan solidaritas yang tinggi bagi bangsanya.

Kembali ke cerita Jerman yang mau memberi pinjaman kepada Korea Selatan, karena negeri ini memang sedang butuh gastarbeiter (pekerja tamu) yang terbukti menjadi resep untuk pembangunan ekonomi Jerman pasca perang. Negosiasi dengan Jerman langsung dipimpin oleh Jenderal Park. Jadi, mulai tahun 1963 sampai 1983 Korea Selatan mengirim tenaga kerja ke Jerman Barat, bekerja di sektor pertambangan atau perawat. Rombongan pertama tiba 123 orang, setelah lulus test dan seterusnya sampai berjumlah 8600 pekerja dan 10.400 perawat, pada puncaknya.

Jerman di tahun 1961 dibangun Krushchev Tembok Berlin, sehingga pengiriman pekerja dari wilayah Timur dengan upah murah terhenti. Presiden Kennedy menghentikan bantuan untuk Korea karena dipandang tidak demokratis. Berdasarkan catatan, dalam ukuran sekarang tidak seberapa dana pinjaman yang dibayar dengan pengiriman buruh Korea dari Jerman, hanya USD 150 juta. Tetapi jumlah ini sangat penting bagi Presiden Park guna mewujudkan ambisinya untuk pembangunan ekonomi.

Ada catatan menarik. Ketika Park dan isterinya mengunjungi para buruh Korsel di Jerman, dia berpidato: “Betapa sedihnya hati saya karena kemiskinan di negeri kita.” Ketika menyanyikan lagu kebangsaan Korea, tidak hanya Presiden Park dan isterinya serta semua buruh Korea yang menangis. Presiden Jerman Barat, Heinrich Lübke tak urung ikutan menangis haru. Setelah mereka menyelesaikan kontrak 3 tahun, para pekerja ini diperbolehkan tinggal di Jerman dan melanjutnya hidupnya di sana. Sebagian besar kembali ke Korea, dan merasa turut menyumbang bagi kemajuan negerinya, betapapun hanya ‘memburuh’ di negeri orang. Tetapi, mereka membantu Park mewujudkan mimpinya, dan membuktikan “the miracle of the Han river”.

Pengiriman “TKI” ke Jerman Barat ini memang sejarah dan menjadi ‘catatan kaki’ di tengah-tengah keberhasilan Korea Selatan secara ajaib.

Pinjaman USD 150 juta dari Jerman ini lumayan berarti namun tidak cukup meskipun ukuran zaman dulu yang dipakai. Park kemudian menggunakan pinjaman luar negeri ini untuk membangun industri ringan seperti wig, tekstil, dan barang konsumen lainnya yang kemudian segera bergerak cepat. Tentu ini tidak cukup. Park mulai merancang ke pembangunan industri berat: baja, batubara, kimia, mesin dan industri kapal untuk kemajuan lebih cepat ekonomi negeri ini. Namun, mana ada investor luar negeri yang mau.

Tekad Park luar biasa. Baja dibangun tahun 1970 dengan pengorbanan besar dan tidak ada investor luar negeri yang mau mendukung. Mereka ragu, karena perlu modal dan teknologi yang tinggi. Tahun 1973 Pohang, pusat industri baja mulai menghasilkan produk dan keraguan pihak luar mulai sirna. Industri menjadi jantung bagi pembangunan ekonomi Korsel. Pada tahun 2014 Korea menjadi penghasil terbesar ke-4 dunia di bidang baja. Industri baja yang kokoh menjadi tulang punggung penting dalam proses industrialisasi bagi Korsel. Baja maha penting bagi industri kapal, mobil, mesin, dan elektronik.

Saemaul Movement

Kesediaan berkorban untuk negara dengan semangat patriotisme tidak hanya terjadi ketika Park memimpin langsung proses industrialisasi, tetapi juga terbukti ketika presiden bertubuh kecil ini membentuk gerakan komunitas yang disebutnya sebagai “Saemaul Movement”. Gerakan komunitas pada tingkat pedesaan ini bertujuan untuk memperbaiki taraf hidup, membangun infrastruktur dan sarana pertanian.

Lebih 33 ribu pedesaan diberi bantuan semen dan besi, dan setelah 2 tahun bagi desa yang sukses diberi bantuan lebih besar sebagai insentif. Desa dianjurkan untuk swasembada setelah mapan. Rakyat pun memperoleh percaya diri, apapun mungkin jika bekerja keras. Semangat Saemaul ini juga menjalar ke sektor-sektor lain termasuk di industri di kota-kota. Sejak akhir 1960-an sampai tahun 1970-an ekonomi Korsel tumbuh hampir mencapai 10 persen pertahun! Pelajaran penting adalah Korsel tidak dapat hidup semata bergantung pada bantuan luar negeri. Rasa percaya ini juga menjadi modal terpenting kemudian.

Ini mirip dengan semangat gotong-royong. Tetapi, masih adakah semangat kebersamaan di zaman globalisasi di mana semangat individualistis dan menang-menangan semakin kuat di negeri kita?

Di Korea, resep gotong-royong dirancang dengan baik. Pemerintah, di bawah pengawasan langsung Presiden Park, mencatat dengan baik kemajuan yang dicapai di semua desa. Di sana, pada awalnya dibagi semen dan besi, dan kemudian dilengkapi dengan berbagai keperluan untuk membangun industri kecil. Di Korea, desa tidak dibagi uang seperti di Indonesia, yang nantinya akan raib entah ke mana dan tujuan yang kian mengabur karena pastilah supervisi lemah karena ada puluhan instansi yang sibuk sendiri untuk berkoordinasi tanpa hasil.

Semangat Inovatif dan Menyesuaikan Diri

Sekarang, mari kita pelajari resep ke-5 keberhasilan pembangunan Korea Selatan, yakni kemauan dan kegigihan untuk menyesaikan diri untuk menghadapi tantangan: inovasi dan adjustment. Dengan kata lain, bagaimana Korea memandang tantangan hebat itu bertransformasi menjadi ‘opportunity’.

Pada 1978 ketika tejadi oil shock kedua, Korsel sudah siap. Dengan dana petro dolar mengalir ke negeri bahkan Park melakukan investasi di dalam negeri, membangun sejumlah infrastruktur besar-besaran guna mewujudkan mimpinya menjadikan Korsel negara industri maju. Pada oil shock pertama, dana keuntungan yang diperoleh dari pembangunan berbagai sarana di Timur Tengah itu digunakannya untuk membangun industri kapal, baja, perminyakan, kimia dan permesinan. Kedua kalinya, Korsel mulai merestrukturkan ekonominya. Hal ini menjadi kunci perkembangan pesat Korsel di tahun 1980-an, berkat turunnya minyak, melemahnya nilai tukar dolar, dan turunnya suku bunga pinjaman.

Setelah 33 tahun sejak Repelita I tahun 1962, dunia mulai memandang kagum Korsel yang telah tumbuh kokoh dengan mengandalkan industri dan perdagangan internasional. Namun, di sisi lain Korsel mengalami apa yang disebut sebagai ‘bubble economy’ yang berujung pada krisis moneter menjelang akhir tahun 1990-an. Aksi demo marak di mana-mana untuk tuntutan demokratisasi yang memang tertinggal jauh dibanding dengan kemajuan ekonominya. Konglomerat Korea atau ‘chaebol’ juga terancam bangkrut dan ini membahayakan negeri.

Korea selalu menemukan jalannya. Meskipun di tahun 1990-an Korea mendapat tantangan karena gerakan demokrasi menguat namun rakyat di negeri ini sudah kaya. Ancaman kebangkrutan karena krisis moneter dijawab dengan reformasi ekonomi yang sukses dan membuka jalan bagi peningkatan Korea setahap lebih maju. Cadangan devisa yang tinggal USD 3 milyar di tahun 1997 meningkat tajam di 4 tahun kemudian menjadi USD 99 milyar, atau ke-5 tertinggi di dunia! Setelah menyelesaikan pinjamannya lebih cepat 3 tahun kepada IMF sebanyak 350 milyar dolar, maka Korsel melangkah lebih maju dengan mendorong perdagangan internasional setelah menjadi anggota WTO dan OECD di tahun 1996. Pendapatan perkapita juga telah meningkat menjadi USD 10.000, jika dibandingkan di tahun 1953 cuma USD 67,00.

“Mukjizat Sungai Han” kata orang Korea. Dunia pun setuju. Bagaimana salah satu negara termiskin di dunia setelah PD II menjadi salah satu negara terkaya dan menghasilkan produk canggih serta menjadi negara terbesar ke-5 di bidang perdagangan internasional. Bagaimana dari suatu negara yang memohon bantuan untuk mengatasi kelaparan menjadi salah satu negara berpenduduk terkaya dan menjadi negeri donatur bagi negeri-negeri miskin yang masih banyak di berbagai belahan dunia. Itulah Korea!

Kelima resep keberhasilan Korea Selatan itu yang menjadi kunci dalam mencari rahasia perwujudan dari “The Miracle of the Han River”, yaitu:

1. investasi di bidang pendidikan dan penguasaan teknologi,

2. Jiwa entrepreneur dalam menghadapi tantangan,

3. Percaya diri untuk keberhasilan,

4. Kesiapan rakyat untuk berkorban demi untuk tujuan yang lebih baik, dan

5. Senantiasa melakukan inovasi dan adjustment.

Dari tahun 1962 sampai 1994, pertumbuhan dahsyat ekonomi Korea Selatan rata-rata pertahun 10 persen, dengan pertumbuhan ekspor rata-rata 20 persen, sehingga di tahun 1995 telah menjadi ekonomi ke-11 terbesar di dunia. Korea Selatan kini menjadi negara terbesar ke-8 dalam perdagangan internasional yang sejak 1987 telah menjadi negara demokrasi (indeks ke-2 di Asia), sejak 2009 menjadi negara pertama yang mengubah nasib dari penerima bantuan menjadi negara donor utama yang tergabung dalam OECD. Dalam Human Development Index, Korea Selatan menduduki ranking ke-15 dunia dengan pendapatan perkapita terbesar ke 10 dunia.

Korea kini menduduki posisi sebagai negara terbaik dalam student skill di mana 64 persen tenaga kerja berusia 25-34 tahun berijazah sarjana atau diploma (D3), terbaik dari seluruh negara OECD, dan menjadi negara yang paling inovatif karena terdepan dalam risert dan pengembangan, seperti diakui oleh Bloomberg Innovation Quotient. Di bidang ekonomi, Korea Selatan merupakan negara ke-7 eksportir terbesar dunia, terutama unggul di bidang panel display dan memory chips. Masyarakat yang paling melek digital (highly advanced information society) karena memiliki internet tercepat di dunia, top di bidang e-government dan di berbagai bidang lainnya. Mengagumkan.

Rahasia Kemajuan Korea Selatan (Bagian 1)

January 29, 2015

Rahasia Kemajuan Korea Selatan (Bagian 1)
05 Jan 2015
Hazairin Pohan
Pengamat Senior. Ketua Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kemlu RI (2012) dan Duta Besar RI untuk Polandia (2006-2010).

Korea Selatan (www.informasimu.com)

Jika sekarang orang mengatakan Korea Selatan adalah hebat tentu susah dibantah. Negeri ini tampil nyata di international stage pada bidang ekonomi maupun politik. Tetapi, siapa menyangka ketika dunia sekarang ini masih dilanda kemiskinan, di negeri-negeri yang banyak rakyatnya hidup di bawah 1 dolar perhari, ternyata keadaan serupa pernah hadir cukup lama di Korea Selatan.

Dari negeri ini, kita di Indonesia bisa belajar banyak. Betapa kita menyia-nyiakan kekayaan alam melimpah ruah, sumber daya manusia yang hebat karena negeri kita dipandang dunia sebagai the young nation, dan yang paling merugi adalah menyia-nyiakan waktu. Korea Selatan tidak memiliki sumber daya alam dan bukan pula dihitung sebagai the young nation. Akan tetapi, mereka tidak menyia-nyiakan waktu, dan kesempatan sekecil apapun. Ya, mereka memanfaatkan akal dan budi manusia untuk menyiasati tantangan untuk diubah menjadi kesempatan.

Bagaimana negeri ini secara spektakuler dalam 60 tahun seusai perang yang berkepanjangan di tahun 1953 bisa mencuat mengagumkan? Orang mengatakan hal ini dicapai karena “The Miracle of the Han River”. Sungai Han ini membelah ibukota Seoul yang dulu juga miskin papa, boleh dibilang sumber inspirasi, dari peradaban unggul bahkan sebelum Masehi. Saya 2 kali mengunjungi negeri ini, tahun 2013 dan 2014 atas undangan seorang sahabat saya Albert yang juga sering berkunjung ke Indonesia. Masing-masing kami mempunyai catatan, kelebihan dan kekurangan baik di Indonesia maupun di Korea. Kini giliran saya membuat catatan tentang negerinya.

“Ibu saya sering tidak makan, dan jika kami sedang makan seadanya saya bertanya mengapa ibu tidak makan, dan ibu saya selalu bilang dia sudah makan. Padahal saya tahu dia belum makan,” kenang Albert, pada masa kecilnya di tahun 1950-an, ketika negerinya baru saja selesai Perang Korea, 1950-1953.

Kalau makan boleh kurang, namun belajar wajib lebih, dan presiden kami ketika itu, Park Chung-hee bilang kalau kamu lapar karena makanan kurang perbanyak minum air, kenang Albert lagi. Masa kecil Park sendiri penuh penderitaan, ayahnya cuma pencari jamur di hutan dan sering minum-minum di lapo dekat rumahnya. Ibunya buruh tani yang menjadi tulang-punggung untuk menghidupi maupun mendidik anak-anaknya. Park yang bertubuh kurus kecil setiap harinya berjalan kaki puluhan kilometer hanya untuk pergi ke SD yang jauh dari kampungnya, Gumi.

Korea Selatan, negeri seluas 100 ribu km2 dengan penduduk 51 juta kini muncul di akhir Perang Dunia II dan terbelah dua dengan saudaranya di Korea Utara yang relatif lebih makmur ketika itu di akhir Perang Korea, tahun 1953. Korea dengan 70 persen tanahnya perbukitan yang gersang dan kosong praktis memulai membangun hanya bermodal sumberdaya manusia, tepatnya dengan semangat mereka yang tinggi. Kedua Korea pewaris dari Kerajaan Goryeo atau juga disebut Koryo dan disebut orang Inggris sebagai “Korea”.

Sejarah negeri ini yang ribuan tahun lalu pernah jaya, wilayahnya mencakup Manchuria di China, memang bangsa yang ulet, tahan menderita, dan cerdik. Mereka bangga dalam ribuan kali berperang dengan China mereka tidak pernah kalah. Meskipun pernah dijajah Jepang selama 35 tahun, namun berkat kegigihan Park dan dukungan rakyanya kini Korea Selatan telah mengalahkan Jepang di berbagai bidang.

Setelah kemerdekaan di tahun 1945 dan dilanjutkan dengan penentuan masa depan negeri ini oleh pemenang Perang Dunia yang gagal membentuk pemerintahan selama 3 tahun karena dibayangi oleh perbedaan ideologis: kapitalis atau komunis. Karena tidak tercapai kata sepakat, terjadilah Perang Korea selama 3 tahun di tahun 1950. Pada akhir perang di tahun 1953 tercatat 5 juta orang tewas sebagai korban dari Perang Korea. Negeri ini pun hancur lebur dan terbelah dua. Nanti, di bagian lain akan saya tulis mengapa faktor eksternal itu begitu kuat memisahkan kedua negeri ini.

Memang sukar membayangkan kemiskinan dahsyat terjadi di “negeri ginseng” ini. Di tahun 1953, pendapatan perkapita cuma USD 67,00, lebih rendah daripada Filipina atau Myanmar! Negeri ini pernah 90 persen tergantung pada bantuan luar negeri, terutama dari Amerika Serikat, setelah Perang Korea. Sehabis Perang Korea di tahun 1953, Jenderal Mac Arthur, panglima perang AS di Pasifik pernah bilang: “negeri ini tidak punya masa depan, dalam seratus tahun pun tidak cukup untuk membangunnya”. Tidak dipandang penting bagi Mac Arthur kecuali karena obsesinya menghalau komunis Tiongkok.

Apa resep Korea Selatan sukses membangun?

Mengutamakan Pendidikan dan Penguasaan Teknologi

Pertama, Korsel memilih jalan yang tepat: pendidikan satu-satunya program untuk restorasi bangsa. 90 persen APBN hanya untuk pendidikan. “Belajar dan kerja keras: hanya itu cara untuk memuliakan hidup”, demikian seruan pemimpin negeri ini. Maka berduyun-duyun anak-anak pergi ke sekolah meskipun menempuhnya berjalan kaki sejauh 10 km setiap harinya. Investasi dan kesungguhan dalam pendidikan ini merupakan modal bagi Korsel untuk menghasilkan tenaga kerja unggul di bidang industri. Inilah yang menjadi impetus kemajuan bagi negeri ini.

Korea Selatan 60 tahun kemudian telah berubah menjadi negara dengan ekonomi terbesar ke-12 dunia! Transformasi ini, menurut penerawang modern Alvin Toffler, lompatan yang luar biasa, berkat kemajuan pengetahuan dan teknologi. Ini yang menjadi obsesi Korea ketika negeri ini dipimpin oleh Presiden Park Chung-hee. Resep pertama ini kemajuan di bidang penguasaan iptek berkat resep kedua keberhasilan Korea: jiwa entrepreneur, kemandirian dalam menghadapi tantangan. Untuk mencapai kemandirian menghadapi tantangan, diperlukan resep ketiga: percaya diri untuk mencapai keberhasilan. Mari kita lanjutkan.

Memang setelah perang berakhir, ancaman komunis dari Utara yang didukung Soviet dan Tiongkok telah menjadikan bangsa ini “under siege”, atau mengidap penyakit sampai kini “siege mentality”. Semua tetangganya, Korut, Tiongkok, Jepang, dan Rusia pada tingkat berbeda adalah ancaman. Yang paling berbahaya adalah saudaranya di Utara itu. Karena itu pula tidak heran jika Korsel pun jatuh di tangan penguasa militer, di bawah Jenderal Park Chung-hee yang menjadi penguasa negeri setelah kudeta militer di tahun 1961. Park berkuasa sampai di tahun 1979, selama 18 tahun, sampai dia ditembak mati oleh kepala intelijen, KCIA. Dalam kurun 18 tahun di bawah rezim militer tentu saja HAM atau demokrasi dikorbankan, dan tampaknya bukan sia-sia. Nanti kita ulas rekam-jejak Park Chung-hee secara khusus dalam tulisan berikutnya di seri ini.

Rezim militer menafikan pentingnya HAM atau demokrasi demi pembangunan ekonomi sebagai prioritasnya. Park kemudian membentuk Dewan Perencana Ekonomi, yang juga bertanggungjawab untuk alokasi dana pembangunan serta untuk investasi luar negeri. Tidak ada catatan khusus apakah Jenderal Park itu anti demokrasi. Cuma, dia pandang demokrasi pada waktu yang sempit itu kemewahan yang tidak bermanfaat. Bahkan sering menghambat dia dalam membangun Korea. DPR yang bertele-tele tidak di-entertain oleh Park.

Tidak lama setelah kudeta, di tahun 1962 Korea di bawah Park menetapkan Repelita yang menjadi blue print pembangunan ekonomi yang menjadi prioritas utamanya. Masalahnya dana tidak ada, bahkan AS juga kurang mendukung, seperti tercermin dalam ucapan Mac Arthur bahwa seratus tahun pun tak cukup untuk membangun Korea. Kesia-siaan. Amerika tak mau memberikan pinjaman pada pemerintah pelanggar HAM dan anti-demokrasi itu.

Park tidak menyerah.

Bersambung
sumber: https://www.selasar.com/politik/rahasia-kemajuan-korea-selatan

Suspended Coffees

August 11, 2014

Suspended Coffees

Saya memasuki sebuah kedai kopi kecil bersama seorang teman dan memesan kopi. Ketika kami sedang menuju ke meja ada dua orang yang datang kemudian mereka pergi ke counter: ‘Kami pesan lima kopi, dua untuk kami dan tiganya “ditangguhkan (suspended)”. Mereka membayar pesanan mereka, mengambil hanya dua gelas saja kemudian pergi.

Saya bertanya kepada teman saya: “Apa itu ‘ kopi ditangguhkan (suspended coffees)’?” Teman saya berkata: “Tunggu dan kamu akan lihat.” Beberapa orang lagi masuk. Dua gadis memesan masing-masing satu kopi, membayar dan pergi. Pesanan berikutnya adalah tujuh kopi yang dipesan oleh tiga orang pengacara – tiga untuk mereka dan empat ‘ditangguhkan’.

Terus terang saya masih bertanya-tanya apa yang dimaksud dengan transaksi -kopi ditangguhkan- tadi. Sementara saya menikmati cuaca cerah dan pemandangan yang indah ke arah alun-alun di depan kafe, tiba-tiba seorang pria berpakaian lusuh yang tampak seperti seorang pengemis masuk melalui pintu dan bertanya dengan sopan kepada pelayan “apakah Anda memiliki ‘kopi ditangguhkan’? “.

Ini sederhana – seseorang membayar di muka pesanan kopinya kemudian diniatkan untuk membantu orang yang tidak mampu membeli minuman hangat. Tradisi kopi ditangguhkan ini dimulai di Naples, dan sekarang telah menyebar ke seluruh dunia bahkan di beberapa tempat Anda dapat memesan tidak hanya kopi ditangguhkan, tetapi juga sandwich atau makanan.

Alangkah indahnya, bila pemilik kedai kopi atau toko di setiap kota melakukan hal ini sehingga mereka yang kurang beruntung dapat menemukan harapan dan dukungan. Jika Anda adalah pemilik bisnis coba tawarkan hal ini kepada konsumen Anda…, kami yakin banyak diantara mereka yang mendukung dan menyukainya. “Berilah makan yang lapar, kunjungi yang sakit dan bebaskanlah budak” (HR. Bukhori).

Batu Besar

August 8, 2014

Batu Besar

Suatu hari seorang dosen sedang memberi kuliah tentang manajemen waktu pada para mahasiswa MBA. Dengan penuh semangat ia berdiri depan kelas dan berkata,

“Okay, sekarang waktunya untuk quiz.” Kemudian ia mengeluarkan
sebuah ember kosong dan meletakkannya di meja. Kemudian ia mengisi ember tersebut dengan batu sebesar sekepalan tangan. Ia mengisi terus hingga tidak ada lagi batu yang cukup untuk dimasukkan ke dalam ember.

Ia bertanya pada kelas, “Menurut kalian, apakah ember ini telah penuh?” Semua mahasiswa serentak berkata, “Ya!”
Dosen bertanya kembali, “Sungguhkah demikian?”
Kemudian, dari dalam meja ia mengeluarkan sekantung kerikil kecil.
Ia menuangkan kerikil-kerikil itu ke dalam ember lalu mengocok-ngocok ember itu sehingga kerikil-ker ikil itu turun ke bawah mengisi celah-celah kosong di antara batu-batu.

Kemudian, sekali lagi ia bertanya pada kelas, “Nah, apakah sekarang ember ini sudah penuh?”
Kali ini para mahasiswa terdiam. Seseorang menjawab, “Mungkin tidak.”

“Bagus sekali,” sahut dosen. Kemudian ia mengeluarkan sekantung pasir dan menuangkannya ke dalam ember. Pasir itu berjatuhan mengisi celah-celah kosong antara batu dan kerikil.

Sekali lagi, ia bertanya pada kelas, “Baiklah, apakah sekarang ember ini sudah penuh?” “Belum!” sahut seluruh kelas.

Sekali lagi ia berkata, “Bagus. Bagus sekali.” Kemudian ia meraih sebotol air dan mulai menuangkan airnya ke dalam ember sampai ke bibir ember. Lalu ia menoleh ke kelas dan bertanya, “Tahukah kalian apa maksud illustrasi ini?”

Seorang mahasiswa dengan semangat mengacungkan jari dan berkata,
“Maksudnya adalah, tak peduli seberapa padat jadwal kita, bila kita mau
berusaha sekuat tenaga maka pasti kita bisa mengerjakannya. ”

“Oh, bukan,” sahut dosen, “Bukan itu maksudnya. Kenyataan dari illustrasi
mengajarkan pada kita bahwa:
bila anda tidak memasukkan “batu besar” terlebih dahulu, maka anda tidak akan bisa memasukkan semuanya.”

Guru Maha Tahu

January 3, 2014

seorang anak yang berusaha mencari seorang guru maha tahu. Setelah mencari ke beberapa tempat tanpa hasil ia bertemu dengan seekor semut sakti yang berjanji akan membantunya. Semut itu pun mengubah anak kecil ini menjadi seukuran dirinya dan mulailah mereka berdua mengembara di hutan yang penuh magis. Mereka bertemu dengan segala makhluk dan tetumbuhan yang dapat berbicara.

Anak itu bertanya kepada bunga, pohon, dan binatang-binatang: “Apakah anda guru yang tahu segala?”

Tetapi setiap makhluk yang ditanyai menjawab bukan dan merekomendasikannya bertanya kepada makhluk lainnya. Setelah berhari-hari mengembara akhirnya mereka bertemu dengan sebatang pohon raksasa. Batang pohon itu sangat besar dan tampak seperti seorang kakek-kakek.

Anak itu bertanya kepada pohon raksasa tersebut: “Apakah anda guru yang tahu segala?”

Pohon itu tersenyum: “Bukan.” Jawabnya.

“Lalu siapa guru yang tahu segala itu?” Tanya anak itu.

“Guru yang tahu segala? Wah, tidak ada seorang guru pun yang tahu segala di atas permukaan Bumi ini. Usiaku sudah 2500 tahun dan aku belum pernah bertemu seorang pun yang dapat disebut guru yang maha tahu.”

Si anak tidak berputus asa. “Bila Anda sudah hidup 2,500 tahun lamanya, Anda pasti sudah belajar banyak hal, apakah Anda guru yang tahu segala itu?” Tanyanya.

Pohon raksasa tua itu tertawa terkekeh-kekeh. “Selama 2500 tahun aku memang belajar dan menguasai beberapa hal yang diperlukan, tapi itu tidak menjadikan aku guru yang tahu segala. Bila aku boleh menasihatimu, pulanglah dan pelajarilah beberapa hal yang bermanfaat untuk menjalani kehidupanmu, Nak.”

Anak kecil itu merasa sehembus angin sepoi dan jatuh tertidur. Ketika terbangun ia mendapati dirinya sedang berbaring di bawah sebatang pohon raksasa. Di sampingnya seekor semut sedang merayap di atas daun.

“Ah, ternyata aku bermimpi aneh.” Pikirnya. Namun nasihat dari pohon raksasa tua itu jelas teringat olehnya. Maka ia pun tersadar bahwa yang paling penting baginya menyelesaikan tugas sekolahnya, yakni mengumpulkan beberapa jenis tumbuhan untuk bahan pelajaran dan itulah sebabnya ia datang ke hutan ini.